Monday 10 October 2011

Sipat Datar/Levelling/Waterpassing

Pengukuran sipat datar/leveling/waterpassing bertujuan untuk menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi. Tinggi suatu obyek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi, yaitu bidang yang dianggap ketinggiannya nol. Bidang ini dalam Geodesi disebut bidang geoid, yaitu bidang equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata (mean sea level). Bidang equipotensial juga disebut bidang nivo, dimana bidang ini selalu tegak lurus dengan arah gaya berat dimana saja dipermukaan bumi (Basuki, 1993).

Prinsip pengukuran sipat datar
Pengukuran sipat datar adalah penentuan beda tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik horisontal yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertikal. Garis bidik (lurus) dapat dipenuhi dengan alat teropong, sedangkan untuk membuat mendatar dibantu dengan nivo tabung.

Prinsip dasar pengukuran beda tinggi metode sipat datar adalah dengan menghitung selisih bacaan benang tengah rambu muka dan rambu belakang yang didirikan pada kedua titik pengamatan. Gambaran prinsip pengukuran sipat datar dapat dilihat pada gambar




Keterangan gambar :
a : bacaan benang tengah rambu belakang
b : bacaan benang tengah rambu muka
HA dan HB : tinggi titik A dan B diatas bidang referensi.
∆HAB : beda tinggi antara titik A dan B
Berdasarkan gambar (I.1) tersebut dapat dicari beda tinggi antara titik A dan B dengan persamaan :
∆HAB = a – b
Untuk menentukan tinggi suatu titik dengan sipat datar dibutuhkan sedikitnya satu titik lain yang telah diketahui tingginya. Dengan mengasumsikan tinggi titik A (HA) telah diketahui, maka tinggi titik B (HB) dapat dicari dengan persamaan :
HB = HA + ∆HAB
Apabila alat didirikan di antara dua buah rambu, maka antara dua buah rambu dinamakan slag yang terdiri dari bidikan ke rambu muka dan rambu belakang. Pada teropong, selain garis bidik atau benang tengah (BT), umumnya dilengkapi dengan benang stadia, yaitu benang atas (BA) dan benang bawah (BB). Selain untuk pengukuran jarak optis, bacaan BA dan BB kontrol pembacaan benang tengah (BT), dimana seharusnya pembacaan BT = ½ (BA+BB) (Basuki, 1993).

No comments: